Welcome to The World, My Little Girl!

My little girl

My little girl

Suara tangisan itu terdengar nyaring di ruang bersalin. Tidak berlangsung lama, tetapi cukup membuat ketegangan kami memudar. Semua pasang mata tertuju padanya. Sosok kecil yang dinantikan itu akhirnya terlahir ke dunia. Anugerah dari Yang Mahakuasa. Alhamdulillah.

===============================

Sabtu, 10 Oktober 2015 pukul 18.46 WIB, putri pertama kami lahir dengan normal. Beratnya 3,4 kg, panjangnya 48 cm. Saya bernapas lega ketika menyaksikan langsung kelahiran putri kami itu. Azan dan iqamah segera saya kumandangkan di telinga si bayi beberapa saat setelah kelahirannya.

Istri saya tampak sumringah. Wajahnya berseri. Urat syarafnya mengendur. Lega melihat kehadiran sang buah hati. Seolah lupa bahwa baru saja ia melewati perjuangan antara hidup dan mati. Semuanya sirna seiring dengan tangis sang bayi yang memecah kepanikan.

Tak sanggup saya deskripsikan dengan kata-kata untuk mengungkapkan nikmat yang Allah berikan ini. Sepuluh bulan setelah kami melangsungkan pernikahan, putri mungil nan lucu sudah dianugerahkan kepada kami. Sosok bayi yang ditunggu-tunggu itu kini hadir melengkapi kebahagiaan kami.

Jika mengacu pada prediksi, kelahiran putri pertama kami ini mundur lima hari. Istri saya sempat gelisah ketika belum merasakan kontraksi begitu mendekati hari perkiraan lahir. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi saat mencapai HPL, tetapi masih belum merasakan kontraksi. Beberapa hari setelahnya pun, ia belum merasakan hal yang berbeda pada perutnya. Istri saya dilanda kegalauan akut layaknya si jomblo yang tak juga menemukan calon pendamping hidup.

Hingga Sabtu 10 Oktober dini hari, sekitar pukul 1.00 WIB, istri saya merasakan kontraksi yang cukup hebat. Hingga pagi hari, ia merasakan kontraksi setiap lima menit. Tekanan pada perut yang sangat kuat, yang hanya istri saya yang bisa merasakannya. Sekitar pukul 8.00 WIB, kami memutuskan untuk pergi ke bidan, sekitar 15 menit dari rumah.

“Sudah bukaan empat!” kata asisten bidan begitu memeriksa istri saya. Seketika saya senang sekaligus kaget mendengarnya. Senang karena berarti istri saya sebentar lagi akan melahirkan. Kaget, karena sudah bukaan empat. Saya khawatir jika istri saya terlambat mendapatkan penanganan.

Namun ternyata, bukaan empat masih jauh dari kelahiran. Sebab, istri saya harus melewati beberapa bukaan lagi hingga mencapai bukaan 10. Dalam setiap bukaan, kontraksi yang terjadi semakin hebat. Dari yang awalnya setiap 5 menit, menjadi 3 menit dan hingga 1 menit.

Meski tidak betul-betul merasakannya, saya cukup merasakan perjuangan istri saya menahan rasa sakit begitu mendekati proses kelahiran. Muliakanlah istrimu wahai suami karena di balik kelembutannya, wanita menyimpan kekuatan superhebat.

Saya ingat, Daily Mail pernah memberitakan dua orang pria yang mencoba merasakan sakitnya proses melahirkan. Dengan menggunakan alat khusus, dua pria itu diberi kontraksi palsu berkali-kali dan merasakan sakit yang luar biasa. Hasilnya, dua pria itu menyerah dalam dua jam saja. Padahal, seorang wanita bisa merasakan kontraksi hingga belasan jam bahkan lebih. Istri saya mengalami kontraksi hingga 18 jam!

Wajar saja, jika ia tak ingin banyak bicara dan tak mau ada kegaduhan di ruangannya. Ia ingin betul-betul fokus melewati fase-fase menuju kelahiran sang buah hati. Meski sakit bukan main, istri saya tetap berjuang melewatinya dengan kekuatan doa dan dukungan orang-orang di sekelilingnya.

Waktu terasa begitu lambat hingga azan Zuhur berkumandang. Istri saya semakin merasakan kontraksi yang hebat dan kuat di perutnya. Wajahnya pucat, sekujur badannya gemetar, dan sesekali meraung-raung setiap ia merasakan kontraksi. Saya tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berdoa agar istri saya diberi kekuatan untuk menghadapinya.

“Masih bukaan empat!” lagi-lagi asisten memberi tahu kondisi istri saya setelah memeriksanya. Istri saya tampak lemas mendengarnya. Begitu juga dengan saya. Sudah dari pukul 8 pagi hingga sekitar pukul 13.00, istri saya masih belum beranjak ke bukaan berikutnya. Padahal, ia sudah merasakan kontraksi yang lebih rapat dari sebelumnya.

Saya terus mencoba menenangkan istri saya. Terus mengingatkannya agar berdoa dan berzikir agar diberi kemudahan. Istri saya tak menyahut. Mungkin ia kurang tenaga untuk sekadar berkomentar. Namun, ia tetap berusaha mengucapkan zikir dan doa di sela kontraksi yang semakin hebat.

Di tengah kegelisahan, suara tangisan bayi tiba-tiba terdengar di balik ruangan tempat istri saya dirawat. Rupanya, seorang pasien sudah melahirkan dan diikuti sambutan gembira dari keluarganya. Ada lima pasien, termasuk istri saya, yang dalam proses melahirkan hari itu. Setidaknya ini menjadi motivasi bagi istri saya, bahwa ia tak sendirian.

Saya pun bersyukur lantaran bisa menemani istri saya menjalani detik demi detik proses melahirkan putri pertama kami. Sebab, banyak di antara para suami yang tidak berkesempatan menyaksikan kelahiran anak pertama mereka lantaran berbagai alasan.

Istri saya sering berkomentar, “Dedeknya belum mau lahir, nunggu ayah datang.” Maklum, menjelang kelahiran anak pertama kami, istri saya tinggal di Bogor di rumah orang tuanya. Sementara saya di Bandung untuk bekerja. Dengan demikian, saya harus pulang pergi Bogor-Bandung setiap akhir pekan.

Dan atas izin Allah, istri saya mulai merasakan kontraksi pada akhir pekan saat jadwal saya menjenguknya. Saya pun tak sabar untuk segera melihat kelahiran sang buah hati yang sudah lama kami nantikan itu. Sementara istri saya terus merasakan kontraksi yang semakin lama semakin hebat.

Senja pun berganti malam ketika istri saya masih berjuang melahirkan anak pertama kami. Dibantu seorang bidan dan tiga asistennya, ia berusaha sekuat tenaga dengan tangannya yang tak lepas dari genggaman saya. Sesekali saya mengusap keningnya, berharap agar ia merasa lebih tenang.

“Eeeaa… Eaaa…”, dan akhirnya suara tangisan pendek namun nyaring itu terdengar di ruang bersalin. Sosok mungil itu terlahir dari rahim ibunya. Saya sempat terpaku beberapa saat sebelum akhirnya benar-benar yakin bahwa anak kami telah lahir. Saya menengok ke arah istri saya lalu dengan spontan mengecup keningnya dengan lembut. “Alhamdulillah, sudah lahir,” ucap saya.

Saya bersyukur lantaran bisa langsung menyaksikan kelahiran anak pertama, seperti yang saya harapkan dan doakan jauh hari sebelumnya. Bersama ibu mertua, seorang bidan dan tiga asistennya, saya melihat detik demi detik proses melahirkan yang menegangkan itu.

Sesuai dengan kesepakatan bersama, kami menamai putri pertama kami Sophia Fahira Khairunnisa. Sophia merujuk pada salah satu istri Nabi yang dikenal paling cantik. Fahira, berarti kebanggan. Sementara khairunnisa bermakna sebaik-baiknya wanita. Dengan nama itu, kami berharap agar putri kami kelak menjadi wanita cantik yang solihah seperti istri nabi, menjadi kebanggaan orang tuanya, dan menjadi teladan bagi para wanita lainnya. Aamiin.

Welcome to the world, my little girl!

IMG_20151018_223154

Leave a comment