Count Your Blessings

Dua hari terakhir, saya terserang flu dan batuk. Sungguh mengganggu sekali. Kepala jadi pusing, tidak sahur karena kesiangan, kerja pun tidak fokus. Selain itu, badan terasa lebih lemas dan kurang bergairah. Rencana menulis pun berkali-kali tertunda. Ah, jika saja ada remote control kehidupan, saya ingin skip bagian ini. Lalu, cling! Saya langsung berada di satu bagian di mana tubuh saya dalam kondisi fit dan bugar. Mimpi kali yee!

Syukurlah, saya masih bisa berpikir sedikit lebih jernih. Sakit ini, mungkin cara Allah menguji saya. Sejauh mana saya bisa tahan terhadap cobaannya. Dan, sejauh mana kualitas ibadah saya dengan cobaan ini. Lagipula, bukankah sakit itu menjadi penghapus dosa-dosa? Lalu, kenapa harus mengeluh?
Continue reading

Kopi Hitam

Sore itu matahari sudah mulai condong ke ufuk barat, seakan mengingatkan para penghuni bumi untuk beristirahat setelah seharian bekerja. Kemacetan menyergap Jalan Soekarno-Hatta, Bandung ketika para pengendara pulang kerja menuju rumahnya masing-masing. Bunyi klakson kendaraan bermotor terus bersahutan dan semakin nyaring begitu mendekati lampu merah. Sungguh suatu kondisi yang menjengkelkan dan menjadi salah satu penyebab stres bagi warga perkotaan.

Di tengah hiruk-pikuknya kendaraan di luar, saya masih berada di kantor meski pekerjaan sudah selesai. Saya beranjak ke lantai dua menuju pantri untuk sekadar minum kopi, melepas penat. Di sana ada seorang office boy (OB) yang tengah duduk santai menunggu pesanan. Seperti sudah mendapatkan kode, dia langsung menawarkan jasanya ketika saya datang. “Kopi, Bos?” ucapnya. “Boleh, Om,” kata saya menimpali.

Continue reading

Allahumma, Paksakeun! (Bangun Pagi)

Bangun pagi. Terdengar sepele dan sederhana. Namun, cukup sulit melakukannya bagi yang tidak memiliki komitmen. Wah, kalau sudah bawa-bawa komitmen, berat juga urusannya, hehe..

Tapi yakinlah, perubahan itu muncul mulai dari bangun pagi. Akan banyak perubahan ketika Anda bangun lebih pagi dari biasanya. Minimal, bangun pagi itu sendiri.

Mulai sekarang, saya berkomitmen untuk bangun lebih pagi dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya bangun pukul 5 atau lebih, hari ini saya bangun pukul 4.30, pas saat azan Subuh berkumandang. Jika sebelumnya saya tidur setelah salat Subuh, mulai hari ini saya (berusaha) untuk tidak tidur lagi.

Bangun lebih pagi membuat saya punya cukup waktu untuk melakukan banyak hal. Saya bisa berjalan ke luar menghirup udara segar yang belum tercampuri polusi. Salat Subuh berjamaah di masjid dekat kosan. Tersenyum dengan orang tak dikenal sepulang dari masjid. Menonton berita di TV sebagai referensi liputan hari ini. Juga berselancar di dunia maya untuk sekadar mencari inspirasi. Lalu menulis tulisan tentang bangun pagi. Ah, banyak sekali yang bisa dilakukan setelah bangun pagi. Dan pada saat yang sama, mencoba mensyukuri semua itu. Sebab, hingga detik ini saya masih diberi kekuatan untuk melakukannya. Indah sekali bukan?

Manfaat yang lain dari bangun pagi adalah memiliki waktu khusus untuk mengasah potensi diri. Bagi yang masih single seperti saya (sedikit promosi, hehe..), waktu khusus tersebut memang cukup luang, selain di pagi hari. Namun, bagi mereka yang sudah berkeluarga, apalagi punya anak, bangun pagi tentu sangat bermanfaat. Sebab jika bangun kesiangan, waktu itu akan bentrok dengan urusan rumah tangga. Mulai dari mencuci piring, menyapu lantai, menyetrika baju, menyiapkan sarapan, sampai mati-matian menenangkan anak yang nangis saat bangun tidur. Belum lagi siap-siap berangkat beraktivitas. Kalau sudah begitu, bisa repot urusannya. Betul ga, Dro?

So, mulai sekarang, set alarm di pikiran Anda pada malam hari untuk bangun pagi. Sekali lagi, set alarm di pikiran Anda. Sebab kalau alarm di HP, Anda pasti bangun.. untuk mematikannya. Tapi, jika set di pikiran, Anda akan sayang jika mengabaikannya. Saat bangun, pastikan mata Anda melek. Karena kalau merem, itu namanya tidur. Jika tidak kuat untuk melek, ucapkanlah doa, “Allahumma, paksakeun!” Dan, kata Mario Teguh, lihatlah apa yang terjadi!

Sepuluh Juta Rupiah

Beberapa bulan setelah ayah saya pulang dari India (baca tulisan sebelumnya: Perjalanan Religi), ia jatuh sakit. Awalnya, ia hanya merasa sering kelelahan dan mual-mual. Padahal, ia tak pernah mengerjakan sesuatu yang berat. Berjalan beberapa meter saja, rasanya seperti sudah maraton. Makan sesuap saja, sudah seperti ingin memuntahkan makanan satu piring. Tubuhnya begitu lemas akibat kurangnya pasokan makanan. Berat badannya turun beberapa kilogram. Dokter menyatakan, ayah saya mengalami pembengkakan jantung.

Kondisi itu membuat ayah saya harus menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit swasta di Kuningan. Ia terpaksa harus menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang menjemukan; terbaring di tempat tidur orang sakit, dengan selang inpus yang menempel di tubuhnya, hingga tabung oksigen untuk membantu pernapasannya. Ditambah, ia harus merelakan darahnya diambil setiap hari untuk sampel pemeriksaan kadar gula dalam tubuhnya. Tubuhnya juga berkali-kali dijepit kabel yang terhubung pada alat perekam detak jantung untuk memeriksa perkembangan kondisinya. Sungguh sebuah situasi yang kelak membuat ayah saya mengerti betul tentang arti sebuah kesehatan.

Continue reading